Ngaji

Aceng Dudum Jelaskan Makna Zuhud

Garut, NU Online Garut

Sebagai muslim, kita diajarkan untuk tidak hubbud dunya (cinta pada dunia) dan harus memikirkan akhirat. Namun pada kenyataanya, sebagian besar dari kita masih banyak yang salah memahami memaknai zuhud sebagai bentuk tidak hubbud dunia.

Sesepuh Pondok Pesantren Mambaul Faizin (Fauzan VI) KH Aceng Dudum Abdussalam jelaskan makna zuhud. Penjelasan zuhud tersebut ia sampaikan dalam kegiatan pengajian mingguan di Mesjid Pondok Pesantren Fauzan Kp. Fauzan 05/05 Desa Sukaresmi Kecamatan Sukaresmi Kabupaten Garut Jawa Barat. Minggu (5/11)

Menurut kyai yang akrab disapa Aceng Dudum, zuhud memiliki makna Tarkud Dunya lil Akhirat (meninggalkan dunya untuk akhirat). Bukan tarkud ghani (meninggalkan kekayaan). Karena dewasa ini, banyak yang menganggap bahwa zuhud merupakan meninggalkan kekayaan demi akhirat.

Tambah Aceng Dudum, yang dimaksud meninggalkan dunya untuk akhirat yaitu disaat ada kewajiban beribadah seperti shalat atau ikut pengajian, maka ia harus bisa mengupayakan untuk meninggalkan sementara aktifitasnya demi menggapai akhirat dengan melaksanakan kewajiban.

Ia contohkan salah satu mustami pengajian yang dikenal sebagai pedagang dan petani, jika ia meninggalkan dagangannya untuk sementara waktu demi melaksanakan kewajiban, apakah orang tersebut akan kokoro (fakir). Artinya, menurut Aceng Dudum sebagai muslim yang beriman kita harus disiplin untuk berikhtiar mencari nafkah, namun tidak boleh meninggalkan kewajiban syari’at yang melekat pada kita.

Aceng Dudum mencontohkan kembali seorang Sulton al Aulia Syekh Abdul Qadir al Jailani yang memiliki kebun kurma seluas delapan hektare. Ia tegaskan bahwa zuhud bukan berarti harus meninggalkan kekayaan, namun dunia tidak boleh menghalangi kewajiban syari’at.

Iapun jelaskan salah satu hal yang bisa menyebabkan amal ibadah menjadi hilang, salah satunya karena malu oleh manusia. Seperti halnya kita memberi sesuatu karena malu dipandang orang kaya tapi tidak mau memberi sehingga pemberian tersebut bukan atas dasar keikhlasan, namun karena malu oleh orang lain. Beda halnya saat kita memberi yang diikuti oleh rasa malu.

Tambah Aceng Dudum, menurutnya ada pula yang memalukan diri sendiri karena kemampuan yang besar namun memberi sangat kecil. Seperti halnya kita punya uang milyaran namun bersedekah hanya seribu.

Selain itu, Aceng Dudum mengajak para mustami untuk merubah pemikiran bahwa ngaji bagian dari bentuk rasa syukur, dimana ada nikmat yang amat besar yaitu karena diberi akal dan sehat badan. Sehingga untuk mensyukuri hal tersebut Aceng Dudum Jelaskan yaitu dengan ngaji.

“ngaji merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat yang begitu besar, yakni atas nikmat akal dan Kesehatan yang telah diberikan oleh Allah SWT.” Tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button